Bahasa Indonesia

Lokakarya Penulisan Isu Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan Bagi Jurnalis Media Kristen

Pdt. Imanuel Ginting, S.Th | 07-11-2022

Pematang Siantar-24 Oktober 2022

Jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih menghadapi tantangan. Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terus terjadi.

 

Pada level hukum, penegakan hukum terhadap berbagai tindakan pelanggaran KBB masih belum maksimal. Tidak jarang pula, korban yang umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum. Problem penegakan hukum ini muncul karena peraturan perundang-undangan yang lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaaan Agama; SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat daerah yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.

 

Berbagai peraturan tersebut dalam banyak laporan telah terbukti gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama. Tentu saja ini bukan hanya fenomena khas Indonesia, di tingkat global pun bisa ditemukan bagaimana kebebasan beragama, dalam pengalaman dunia barat juga terus menerus didiskusikan ulang. Kita bisa temukan dari laporan media massa yang membentuk persepsi umum bahwa konflik global berakar pada konflik yang bernuansa keagamaan, setidaknya pasca penyerangan WTC 11 September 2001 yang dilanjutkan dengan berkembangnya aksi terosisme di mana-mana.

 

Meskipun dalam sejarahnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, namun dalam praksisnya tidak ada jaminan bahwa penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir kekerasan. Jelang Pemilu 2024 tidak menutup akan mendatangkan gejolak dalam kehidupan KBB karena politik identitas masih “laku” untuk dimainkan. Renstra Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tahun 2020-2024 juga menyoroti KBB, sebagai upaya untuk ikut mempromosikan sekaligus mengadvokasi persoalan ini.

 

Dari riset dan monitoring yang dilakukan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dinamika pemberitaan media-media baik di pusat atau media nasional maupun daerah tentang isu keberagaman sejatinya tampak terus membaik. Namun, era revolusi digital membuat media-media siber tidak bisa terhindar dari godaan clickbait dan search engine optimization (SEO) yang tak jarang mengulang dan menguatkan stereotip dan stigma atas kelompok-kelompok minoritas melalui penggunaaan diksi, pemilihan narasumber, dan framing yang menyudutkan. Hal ini dikarenakan yang menjadi tujuan pelaku media sering sekali tidak terlepas dari  rating, nilai jual dan keviralan dari suatu berita (if it bleeds, it leads).

 

Terhadap semua tantangan di atas, Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) dan Yakoma PGI tergerak untuk memberikan pelatihan/pembekalan kepada pekerja media gereja dan jurnalis Kristen bertempat di Kantor GKPS di Pematang Siantar. Hal ini mengingat betapa kuatnya peran media dalam membentuk opini bahkan perilaku dari massa (“The media is the most powerful entity on the earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.” Malcolm X).

 

Kehadiran perwakilan dari Gereja-gereja anggota PGI di Sumatera Utara mengingatkan peran dan tanggungjawab media Gereja dalam aspek edukasi, advokasi (litigasi dan mitigasi), watch dog, fact checking (era digital). Begitu pun diharapkan media Kristen menjadi media alternatif yang mengkampanyekan perdamaian, mengawal tahun-tahun politik dan melalui media social memperbanyak konten dan narasi damai.  Seperti diketahui bahwa media social (tiktok, fb, you tube, Instagram, twitter, wa) saat ini mengalami peningkatan yang signifikan dalam penyalahgunaan dan penyebaran berita intoleransi beragama (sentiment keagamaan, fanatisme berlebihan, ambisi kekuasaan, krisis jati diri masyarakat dan minimnya komunikasi antar umat beragama).

 

(Pdt. Imanuel Kemenangan Ginting, STh)