Bahasa Indonesia

Pewartaraan Kabar Baik Berspektif Perdamaian Di Era Digital

Pdt. Imanuel Ginting, S.Th | 17-12-2022

Jakarta-zoom meeting, 15 Desember 2022. Salah satu pokok panggilan gereja di media digital untuk mengembangkan dan memperlengkapi Persekutuan gereja-gereja di Indonesia dalam pengembangan di era digital.  Panggilan kita adalah saling melengkapi dan bergandengan tangan. Hasil diharapkan ada tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk pemberdayaan bersama, saling melengkapi dan mendampingi. Keadaan tidak pernah akan menjadi sama lagi di era digital, dan kita harus menjawab panggilan di segala tempat dan waktu. Kita perlu memberdayakan media terintegrasi melalui media sosial yang interaktif dalam ruang ibadah dan pelayanan, menjangkau yang tidak terjangkau. Pelayanan multi media sangat strategis dalam melayanai jemaat. Pasca covid-19 ada kebijakan yang kembali onsite, tapi ada yang hybrid, dengan media lebih luas menjangkau keberagaman di tengah masyarakat. Dalam hal ini perlu hikmat untuk norma, budaya dan situasi masyarakat kita.

Paulus Tri Agung Kristanto (Kompas/Dewan Press) menyatakan kabar baik tidak boleh bohong! Jangan mengejar kecepatan untuk berpotensi mendapatkan klik bait terbesar dan keuntungan uang yang besar. Laporan google sedang mengubah alogaritme untuk jurnalisme yang lebih baik, people to people conection (Joh 8:32) Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan. Kemampuan memelintir kebenaran adalah sifat manusia. Saat ini media sosial dan online pemelinritran adalah yang melekat pada manusia. Nostra aetate (2015) adagium untuk perdamaian siapkanlah perang, sekarang untuk perdamaian siapkanlah roti. Dalam konflik dan perang tugas kita membangun kebenaran dan mencari kedamaian dan kebersamaan dan kesejahteraan bersama. Pentingnya menghargai dan menjaga lingkungan hidup dunia sebagai ibu pertiwi. World food program menyatakan krisis pandemic  menjadi krisis pangan dan energi, negara besar mementingkan diri sendiri dalam kebijakannya, banyak negara yang terpuruk sendiri.

Kompetensi menjadi penting dalam mengembangkan komunikasi percakapan dan kualitas media dan pekerja media gereja. Mungkinkah pelaku jurnalisme jemaat mendapatkan pemberdayaan etika dan norma bermedia? Sangat mungkin! Kompetensi harus dipenuhi untuk sumber adaya pewartaan warga gereja. Bagaimana informasi yang harus diberikan dengan standar jurnalistik? Wartawan awalnya adalah pekerjaan kaki dan pekerjaan otak! Ada kebiasaan yang tidak meninjau lapangan tetapi hanya olahan referensi asalan, dan tidak memakai otak untuk mengolah data yang baik dan memberi solusi. Menulis berita adalah laku moral, moralitas baik kita tahu mana yang harus dilaporkan dan mana yang tidak dilaporkan untuk menjegah konflik atau kerusuhan. Hal ini dibutuhkan untuk membangun kemanusiaan dan ideliasme perdamaian. Alogaritme you tube dan google sedang diubah, tidak semua mudah untuk mendapat uang seperti waktu lalu sekedar berita yang bombastis. Sangat terbuka untuk menyampaikan kabar baik dan persktif perdamaian melalui media online, yang penting adalah pemberdayaan sumber daya yang mengelola, yang dibutuhkan juga adalah kerjasama dan sinergi dalam jaringan.

Syarat menjadi pewarta adalah independent, itu yang harus dijaga. Menjadi inspirasi, membangun harapan dengan kabar baik adalah kabar baik, bukan kabar buruk adalah kabar baik karena dia viral semata, karena itu senantiasa disiplin berverifikasi. Berita sebagai produk jurnalistik tunduk pada aturan dasar jurnalistik, sementara konten adalah produk kesepakatan.

Leanika Tanjung (Wartawan senior/akademisi) memaparkan digital eklesiologi memakai media digital yang tanpa sekat, melewati batas waktu, tempat untuk pemberitaan kabar baik. Membangun hubungan yang lebih luas di jaringan dan menjangkau daerah pelosok. Pendekatan tv dan radio melalui media streaming. Apa yang mudah, meriah itulah yang dioptimalkan. Dan yang berkaitan dengan aturan hukum harus tetap dipelajari agar sesuai kode etik jurnalistik dan tidak melanggar UU ITE. Gereja mampu mendekati masyarakat di mana pun, keluar dari sekat aktivitas Gedung, disuruh ke tengah dunia. Tidak dapat dihindari teknologifikasi gereja. Gereja jangan tertinggal dan pasif menghadapi kesempatan dan peluang ini.

(Pdt. Imanuel Kemenangan Ginting, STh)