Berdayakan Masyarakat,
YAK GBKP dan RDIS GEREJA ANGLIKAN RWANDA Jalin Kerjasama
Moderamen ( WGM)
YAK (Yayasan Ate Keleng) GBKP dan RDIS (Rural Develeopment Inter Diocesan Service) Gereja Anglikan Rwanda bersama-sama membahas program pemberdayaan masyarakat melalui pengorganisasian atas inisiatif masyarakat tersebut dengan pintu masuk Credit Union (CU) khususnya di pedesaan. Strategi CU dipersembahkan untuk lima Keuskupan Gereja Anglikan di Rwanda, yaitu: Butare, Cyangugu, Kigeme, Nyaruguru dan Shyogwe. Tujuan menyeluruh dari kerja sama ini adalah untuk memberdayakan masyarakat dalam konteks pelayanan di Rwanda (negara di Benua Afrika bagian tengah) dan di Indonesia agar masyarakat mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan spiritual, sosial, ekonomi dan lingkungan mereka secara berkelanjutan.
Pengalaman GBKP melalui pelayanan yang dilaksanakan oleh Pelpem, Deparpem, Biro Parpem, dan terakhir dengan nama Yayasan Ate Keleng GBKP telah memulai kiprah pelayanan sejak tahun 1971/1972 dan kemudian diterima sebagai sebuah unit pelayanan di GBKP tahun 1974/1975. Bentuk pelayanan yang dilakukan pada saat itu adalah pelayanan dengan pendekatan partisipatif dalam bidang pertanian dan pembangunan infrastruktur melalui program padat/palas karya. Pelopor penggagas, pemikir dan pelaksana dari pelayanan pemberdayaan masyarakat ini adalah Pdt. Selamat Barus dalam bidang pertanian dan pengorganisasian masyarakat, Pdt. Borong Tarigan sebagai pelaksana pembangunan infrastruktur di pedesaan dengan strategi palas karya seperti pembangunan Sarana Air Minum (SAM) dan Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hydro (PLTMH) serta keuangan mikro. Pdt. Borong Tarigan dan Pdt. Selamat Barus memikirkan strategi keberlanjutan karya-karya pembangunan atas partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupan, sehingga tercetuslah ide pengorganisasin masyarakat dengan pintu masuk CU. Tujuan CU adalah sebagai pintu masuk untuk melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat. Sebelumnya keinginan kedua tokoh ini adalah mendirikan bank milik rakyat seperti bank orang miskin ala Muhamad Yunus di Bangladesh. Namun, karena sulitnya mendirikan bank terkait regulasi yang ada, akhirnya didirikan CU sebagai bakal BPR. Mimpi mendirikan bank akhirnya terwujud saat didaftarkannya Yayasan Ate Keleng GBKP sebagai bakal pemilik pada tahun 1988. BPR Pijer Podi Kekelengen (BPR PPK) resmi berdiri pada tahun 1993 dengan modal awal puluhan juta. Puji Tuhan, saat ini CU dan BPR PPK secara bersama-sama bertumbuh, berkembang serta mampu mengubah kondisi kehidupan masyarakat penerima manfaatnya.
Pengalaman itulah proses pembelajaran terbaik yang disharingkan pada pertemuan ini. Proses yang sulit namun karena kegigihan dan konsistensi para penggagas tersebut, akhirnya mimpi jadi kenyataan. Bahkan yang terjadi lebih dari yang diimpikan. Menjadikan CU sebagai entry point pemberdayaan masyarakat menjadi sangat menarik karena kebanyakan orang di Indonesia dan begitu juga di Rwanda memahami CU sebagai kegiatan yang hanya mengumpulkan uang layaknya bank atau koperasi. Padahal bank berdiri dengan otoritas penuh oleh pemerintah dan koperasi berdiri atas otorisasi lembaga di mana anggotanya bekerja. Tapi CU berdiri atas otorisasi seluruh anggotanya. CU adalah tentang orang yang mengaku percaya satu sama lain, bukan hanya tentang uang. YAK GBKP menyampaikan bahwa CU itu arti sesungguhnya berasal dari 2 kata pembentuknya yaitu “credo” yang artinya aku percaya dan “union” yang artinya persatuan/persekutuan. Credit Union artinya persekutuan/persatuan orang yang saling mengaku percaya. Pesekutuan ini adalah tentang kerjasama, kekeluargaan, persekutuan yang kuat, dan solidaritas berdasarkan kepercayaan setiap anggotanya. Ini tentang kesejahteraan bersama. Tujuannya untuk mengurangi kemiskinan dan menyelesaikan kesenjangan di dalam sebuah wilayah yang saat ini merupakan goals SDG yang ke-10. Kegiatan simpan pinjam di dalam CU hanyalah satu bagian kecil saja. Ada begitu banyak kegiatan lain di dalam CU yaitu pertanian selaras alam, peternakan, perikanan, pembuatan Perdes (Peraturan Desa) perlindungan lingkungan, Perdes perlindungan kelompok marginal, permakultur (membangun 5 zona sebagai ruang kehidupan permanen), pemasaran produk organik, budidaya kopi organik, membangun kekritisan masyarakat untuk melakukan analisis sosial dan penggunaan anggaran desa, pendampingan kelompok sebaya ODHA ( Orang dengan HIV/ AIDS), kelompok politik perempuan, mendampingi korban bencana dan korban mafia tanah, serta banyak lagi kegiatan lain dalam CU. Jadi CU adalah “pintu masuk” untuk memfasilitasi rakyat agar kesadaran dan pengetahuannya bertambah. Berbagai penguatan melalui pendidikan dan pelatihan dilakukan agar mampu merespon isu-isu penting di konteks kehidupannya. Dengan berdayanya warga, maka diharapkan mereka mampu memperjuangkan hak sipol ( sipil dan politik), Ekosob ,( ekonomi, sosial, budaya), serta lingkungan mereka sehingga terwujudlah masyarakat mandiri yang berdaulat, berkeadilan dan damai sejahtera.
Dalam beberapa pertemuan penting: Board of Director RDIS Meeting sekaligus Retret Para Bishop, Rt. Rev. Dr. Kalimba Jered yang merupakan Bishop Keuskupan Shyogwe dan pada saat yang sama juga disampaikan kepada perwakilan dari RDIS beserta Ketua Pengurus RDIS (Eksekutif), dia mengajak peserta secara aktif memberi perhatian dan tidak pernah berhenti atau diam. Sebaliknya katanya, “berikanlah pemikiran, dan carilah cara tertentu agar organisasi “RDIS” secara lembaga tetap mampu terjaga dan untuk itu semua membutuhkan keterlibatan secara bersama-sama seluruh keluarga besar RDIS. Bishop Jered dalam khotbahnya menggarisbawahi pentingnya persatuan yang diterangi oleh firman Tuhan yang diangkat menjadi dasar khotbah yaitu Kejadian 11: 1-9 "Menara Babel". Sekarang seluruh bumi memiliki satu bahasa dan kata-kata yang sama. Ia mengajak peserta pada kedua pertemuan itu untuk tetap setia, berjalan dan bekerja dengan tuntunan Tuhan agar organisasi RDIS dapat melangkah maju. Dia berkata, “perayaan atas apa yang telah kita capai seharusnya tidak membuat kita puas, sebaliknya kita perlu bergerak maju dan membuat pencapaian yang lebih besar lagi. Tujuan kita bukanlah untuk menjadi menjadi terkenal, melainkan memastikan bahwa apa yang kita telah capai adalah semata-mata karena anugerah Tuhan". Bishop berterima kasih kepada Tuhan yang telah membawa kembali apa yang hilang selama ini. Dalam Kisah Rasul 2:4, mereka semua dipenuhi dengan Roh Kudus dan mulai berbicara dalam bahasa lain ketika Roh memampukan mereka. Pada hari Pentakosta, orang-orang yang tidak dapat memahami satu sama lain mengalami kembali apa yang hilang di Menara Babel “baik orang Yahudi maupun orang yang bukan Yahudi; orang Kreta dan Arab, mereka berkata “Kami mendengar mereka mendeklarasikan keajaiban Tuhan dalam bahasa kami sendiri!” Mereka kagum dan bingung, mereka bertanya satu sama lain, “Apakah artinya ini?” Kis 2:11. Bishop mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas persatuan yang ada dalam Lima Diocese yang berdiri untuk mewakili anggota keuskupan masing-masing untuk mendukung pelayanan RDIS dan meminta setiap peserta untuk berjuang mewujudkan kemakmuran bersama.
YAK GBKP dan RDIS mengadakan perjanjian kerjasama dimulai pada tahun 2019. Direktur Kedua lembaga bertemu selama Program Internasional Master of Art Diakonia Manajemen (IMADM) yang diprakarsai oleh United Evangelical Mission (UEM). Kemitraan kemudian diperluas menjadi kerjasama kedua gereja yaitu: Gereja Anglikan Rwanda-Keuskupan SHYOGWE dengan GBKP yang bersama-sama menandatangani MoU pada momen General Asembly UEM tahun 2022 di Jerman yang difasilitasi oleh UEM. Kemitraan antara kedua gereja dan lembaga ini bertujuan untuk: berbagi proses pembelajaran terbaik dan belajar satu sama lain. Saling menopang dalam menjaga institusi dan gereja, bekerjasama dengan meniru bagian praktek terbaik dari masing-masing lembaga, kemudian dikontekstualkan pada masing-masing lembaga dan insitusi untuk merespon kebutuhan konteks di mana lembaga dan institusi berada.
Situasi jemaat di lingkup pelayanan Gereja Anglikan Rwanda, secara khusus yang dihadapi oleh RDIS, fokus di masyarakat pedesaan yang sebagian besar pekerjaan masyarakatnya adalah petani dengan kondisi ekonomi yang sulit. Rasio gini (tingkat kesenjangan) di Rwanda sekitar 43,7 (data resmi nasional 2016). Ini menandakan jarak antara penduduk kaya dan miskin sangat jauh. Sebagai perbandingan, Indonesia saat ini di poin 38. Masyarakat mengalami kesulitan karena harga produk pertanian sangat murah (akibat monopoli pasar), padahal sumber daya alam dan manusia sangat kaya dan besar. Sangat perlu menciptakan gerakan ekonomi alternatif yang bisa menjaga harga produk pertanian tersebut. Di sisi lain, banyak masyarakat di akar rumput tidak memperoleh pendidikan yang memadai sehingga menjadi tidak memiliki kreatifitas untuk mengelola sumberdaya yang ada. Kesadaran untuk merespon perubahan iklim juga rendah dan masyarakat masih tergantung kepada penggunaan kayu bakar untuk melakukan aktifitas harian. Ini sangat mengancam kelestarian hutan dan bencana longsor akibat penebangan pohon yang tidak terkontrol, karena kondisi tanah di Rwanda sebagian besar adalah perbukitan. Rwanda terkenal dengan sebutan thousand hills country. Masyarakat di grass root juga kadang terpaksa merelakan anak-anak mereka bekerja di tambang mineral karena tidak memiliki pendidikan. Padahal upah buruh di sini sangat murah dan risiko bekerja di tambang sangat tinggi. Menurut keterangan direktur eksekutif RDIS, banyak pemuda yang bekerja ditambang menjadi korban di kegiatan tambang (meninggal dunia). Ini bisa mengancam generasi di Rwanda. Kondisi inilah yang ingin dijawab oleh pelayanan RDIS dan strategi pengorganisasian masyarakat (CU), berdasarkan kosep dan prinsipnya dirasa sesuai dengan sebagai pintu masuknya.
Untuk maksud tersebut, Pdt Yusuf Tarigan (Direktur Eksekutif YAK GBKP) bersama Leader Tarigan (staf dari Divisi Lingkungan sekaligus konsultan infrastruktur YAK GBKP) berkunjung ke RDIS dengan tujuan berbagi pengalaman mengenai program pemberdayaan masyarakat, khususnya bagaimana suka-duka dalam pendirian CU dalam konteks YAK GBKP. Secara strategis, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para pembuat keputusan di RDIS melalui:
Selanjutnya, kedua Direktur Eksekutif (Rev. Yusuf Tarigan dan Pastor NTARINDWA Viateur) – yang adalah anggota International Community of Diaconic Management (ICDM) – berbagi pengalaman dalam hal kepemimpinan dan manajemen di institusi masing-masing untuk saling belajar lebih banyak dan meningkatkan beberapa hal yang perlu dioptimisasi.
Pengalaman yang dibagikan oleh Pdt Yusuf Tarigan kepada badan pembuat keputusan RDIS sebagai berikut:
Gerakan CU sangat potensial untuk memutus mata rantai ketergantungan lembaga seperti YAK GBKP pada pendonor (donatur). Untuk itu perlu sebuah sistem atau konsep yang baru sebagai standard seperti NIFEA (New International on Financial and Economic Atchitecture). Kegiatan ini juga merupakan RTL dari GEMS School 2022 di Berlin yang diikuti oleh Direktur YAK GBKP. Suatu saat nanti YAK GBKPlah yang diharapkan sebagai pendonor untuk mendukung program pemberdayaan masyarakat di berbagai negara.
Sorotan dan Diskusi:
Pdt. Yusuf Tarigan menyoroti alasan-alasan khusus untuk mendirikan CU karena sudah terbukti sukses membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat, antara lain:
Pilar Credit Union
Credit Union berawal dari pendidikan , bertumbuh dengan pendidikan, berkembang dengan pendidikan, dan tergantung pada pendidikan (formal dan informal). Pendidikan adalah nafas CU. Kemandirian: CU berasal dari anggota, dikelola oleh anggota dan untuk anggota. Solidaritas: Semua anggota CU harus mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dengan motto: Anda butuh saya bantu; saya butuh anda bantu. Inovasi: inovasi diperlukan sebagai jalan menuju kemajuan berkelanjutan untuk lebih memenuhi tuntutan zaman. Persekutuan: adalah jaringan bersama kelompok-kelompok CU, sehingga ada kekuatan bersama yang lebih besar, mutualis dan produktif.
Reaksi dan umpan balik
Dari pertemuan pertama dengan para Koordinator Project RDIS; kemudian rapat dengan Pengurus RDIS; serta Retret Para Bishop Gereja Anglikan Rwanda yang meliputi Keuskupan Butare, Cyangugu, Kigeme, Nyaruguru dan Shyogwe sebagai pendiri dan anggota organisasi RDIS bersama Direktur Eksekutif RDIS yang secara berurutan diadakan di Desa Kivumu, Gitarama, Sektor Nyamabuye di Distrik Muhanga dan di kantor RDIS, ditegaskan sebagai berikut:
Komitmen ini akan dilakukan mulai Januari 2023.
Tuhan memberkati komitmen ini, memberkati kedua institusi dan kedua gereja.
(Pdt. Yusuf Tarigan/WG Maranatha)