Bahasa Indonesia

Penutupan Konferensi Kemitraan Emansipatoris PGI-PKN

Pdt. Imanuel Ginting, S.Th | 18-04-2023

KETUA UMUM MODERAMEN GBKP PDT. KRISMAS I. BARUS, MTH. LM TERPILIH MENJADI STEERING COMMITTEE

Berastagi, 17 April 2023. Rangkaian acara konferensi kemitraan emansipatoris PGI-PKN yang berlangsung sejak tgl. 14 April 2023 yang bertempat di Hotel Sinabung Hills Berastagi, diakhiri dengan puncak kegiatan pemilihan 9 orang steering committee(SC) yang akan bertugas secara sukarela dalam melaksanakan kebijakan dan program kemitraan selama 4 tahun ke depan (2023-2027). Dalam pemilihan secara formatur Ketum Moderamen GBKP Pdt. Krismas I. Barus, MTh. LM terpilih sebagai steering committee.

Dengan selesainya seluruh rangkaian acara, maka utusan PKN menyampaikan tanda terima kasih kepada SC yang mengakhiri masa kerjanya dalam bentuk coklat. Coklat adalah simbol kesejahteraan, namun dalam sepotong coklat ada proses memperjuangkan keadilan dalam proses pembuatannya. Coklat mengingatkan perjuangan akan keadilan yang belum tegak di dunia ini dan kebersamaan gereja-gereja bersama harus memperjuangkan hal tersebut.

Ibadah penutupan dilayani Pdt. Jeannie E. Keliat dengan dasar Alkitab I kor 13:4-8, menyampaikan dalam proses sejauh ini hati kita sama : sama-sama letih dan lapar, mengantuk, namun Firman Tuhan mengingatkan kita mengasihi Tuhan dan itu adalah dasar adanya kekuatan di antara kita. Paulus menyatakan kasih yang belum nyata, walau itu membuat bahagia, semangat. Kasih Allah adalah agape. Kasih dintayatakan tulis dan iklhas seperti Yesus. Tulus ikhlas seperti penginjil yang menyatakan kabar baik. dan oleh berkat Roh Kudus gereja-gereja  kita terus tumbuh dan berkembang.

Kasih adalah dasar hidup dalam ucap dan tindakan. Tanpa kasih seperti makanan tanpa lauk. Kalau makanan tanpa garam, tidak nikmat dan lezat. Kasih adalah hal yang utama dalam setiap situasi kita. Kasih agave seperti Firman Tuhan. Ini adalah hal luar biasa, tidak berbahagia tanpa karyanyata. Kasih mempersatukan dalam hidup sehari-hari

 Kasih membuat kita kuat seperti tema : Melangkah bersama mewujudkan kasih persaudaraan. Kita tidak berjalan sendiri karena pergumulan yang sedemikian berat oleh ekonomi, bencana yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kebersamaan kita menyatakan kalau bersama kita Bersama, bijaksana dan memaknai setiap situasi pada tempat situasi yang tepat. Persekutuan dalam kasih menambah hikmat melakukan kebijakan yang tepat. Mari kita bawa kabar baik dari pergumulan hidup di tempat ini. Bawa pulang yang terbaik bagi jemaat kita semua. Kita telah disatukan kasih dan kebersamaan. Berbagi kasih dan roti.

Latar Belakang Konferensi Kemitraan Emansipatoris PGI-PKN

Dimulai sejak tahun 2007 di Makasar, gagasan kemitraan emansipatoris terus berkembang di antara PGI (khususnya anggota PGI yang mempunyai akar historis dengan gereja-gereja di Belanda) dengan PKN. Kemitraan ini sejak awal didasarkan pada semangat baru tentang kesetaraan dan saling berbagi. Simbol atau semboyan kemitraan (dalam perspektif) baru ini adalah “berbagi roti”. Karena itulah, kemitraan ini memberikan tekanan pada kata dan makna emansipatoris.

Setelah berjalan 16 tahun, kemitraan itu perlu direfleksikan kembali dengan kritis. Refleksi itu tidak saja mencakup pemaknaan ulang tentang makna kemitraan, tetapi juga mekanisme kerja dan cakupan pelayanan yang hendak dikerjakan melalui kemitraan ini. Berdasarkan percakapan dan diskusi selama konferensi, di bawah ini merupakan hasil atau rumusan konferensi yang berlangsung di Berastagi, tanggal 14-18 April 2023.

Dimensi Kemitraan

Merefleksikan perjalanan kemitraan sepanjang 16 tahun, makna dan dimensi kemitraan tampaknya perlu memperoleh penyegaran. Karena itulah, dalam konferensi ini di luar dimensi emansipatoris, kemitraan antara PGI dan PKN perlu ditambahkan dua dimensi lainnya, yaitu: ekumenis dan empowerment atau memberdayakan. Penekanan pada kata ekumenis mengandung makna bahwa perlunya semangat kesetaraan di antara gereja-gereja sebagai anggota tubuh Kristus. Mereka yang berbeda-beda itu mempunyai fungsi saling melengkapi dan berdiri sejajar sebagai anggota tubuh Kristus. Sementara kata empowerment menekankan bahwa kemitraan memang harus saling membedayakan.

Singkatnya, ada tiga dimensi yang hendak kita kembangkan sebagai nilai kemitraan antara PGI dan PKN, yaitu: (1) emansipatoris, (2) ekumenis, dan (3) empowerment.

Problem yang dihadapi bersama

Berdasarkan pemetaan kerja kelompok, persoalan yang dihadapi oleh gereja-gereja yang mengembangkan kemitraan emansipatoris, sebagai berikut:

  1. Keadilan ekologis, di Indonesia hal itu tercermin dalam kerusakan hutan dan lahan yang cukup masif. Kerusakan itu mencerminkan dampak buruk manajemen hutan dan lahan. Kekuatan uang atau investasi yang hadir dalam bentuk perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, seperti, emas (Papua, Sumba), Nikel (Poso), Minyak bumi (Maluku, Sangihe, Talaud) telah memperparah kerusakan hutan dan lahan. Selain kerusakan hutan dan lahan, perusahaan ekstraktif tersebut juga melahirkan migrasi terpaksa, karena penduduk asli (khususnya perempuan dan anak) mengalami penggusuran yang seringkali disertai kekerasan–ini termasuk kategori land grabbing.

 

Yang tidak kalah menyedihkan adalah kerusakan lahan akibat perubahan iklim (climate change), yang berdampak pada petani, termasuk di Belanda –para peternak harus mengurangi hewan peliharaan karena proses produksi bisa mempengaruhi pelepasan karbon dan limbahnya turut menaikan gas metan di angkasa yang membentuk “rumah kaca”.

 

Kita memerlukan program-program keadilan ekologis yang mencakup keadilan sosial dan keadilan gender. Gereja di Belanda dan Indonesia perlu mengembangkan gagasan praktik keadilan ekologis bagi semua, mulai dari skala lokal, nasional maupun global, melalui sumber  daya yang dimiliki diterangi semangat kemitraan dan saling berbagi.

 

  1. Perkembangan teknologi dan pengaruhnya bagi kaum muda, pemuda adalah masa depan gereja. Pemuda yang terbuka, dewasa, dan mampu bekerja sama merupakan calon penerus gereja. Sayangnya, pemuda sekarang terbelenggu dan terjebak oleh perkembangan teknologi dan menjadi tertutup, anti-sosial dan cenderung mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang negatif, seperti, menyebar hoaks, flexing, atau melakukan tindakan kekerasan secara non-verbal melalui media sosial. Gejala ini kalau dibiarkan akan mendorong mereka menjadi anti-sosial, dan kemungkinan juga anti-Tuhan.

 

Kita perlu merancang program media and technology literacy bagi kaum muda, sehingga mereka bisa memanfaatkan perkembangsn teknologi untuk pembentukan diri dan sarana misiologi atau ekspresi diri secara positif dan konstruktif, khususnya gereja di Indonesia.

 

  1. Interfaith dan politik kekerasan, untuk gereja di Indonesia, sekarang ini dengan kekuatan media dan partai politik, kelompok tertentu sudah mulai menebarkan keresahan karena hendak menggunakan agama sebagai jalan kekerasan dan kekuasaan. Kalau situasi seperti itu dibiarkan, agama akan dijadikan komodifikasi politik dan menghancurkan gerakan interfaith yang terus berkembang di Indonesia -sebagai jalan hidup bersama di tengah perbedaan. Jalan politik paling murah – yang menjadi tantangan yang menghadang menjelang Pemilu 2024—adalah “menjual” agama dan menawarkan “sorga” kepada para pemilih politik yang kerdil dan lemah iman.

 

Sementara, pada konteks Belanda, perjumpaan dengan mereka yang berbeda merupakan tantangan tersendiri, khususnya bagi Islam dan warga non-Eropa. Menghindari perjumpaan dan mengabaikan keberadaan pihak lain yang ada di sekitar juga merupakan bentuk lain dari kekerasan sosial—meminjam pemikiran Johan Galtung.

 

Karena itu, kedua gereja (di Belanda dan Indonesia) perlu saling berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang hidup bersama di tengah perbedaan dan gerakan interfaith sebagai sarana membangun perdamaian.

 

  1. Ekonomi yang berkeadilan, di tengah upaya pemerintah mendukung gerakan ekonomi nasional berbasiskan usaha kecil dan menengah, gereja perlu mengembangkan teologi kewirausahaan. Tujuan dari teologi ini adalah membangun karakter warga gereja sebagai manusia produktif –berdasarkan nilai  etis-Alkitabiah. Karakter wira usaha yang berjuang bagi perubahan sosial bersama, diterangi nilai Ilahi dan menjunjung sikap anti-korupsi perlu dikembangkan oleh gereja-gereja di Indonesia.

 

Pengalaman gereja-gereja di Belanda yang hidup dalam budaya kalkulatif, rasional, hemat dan disiplin perlu dibagikan kepada gereja-gereja di Indonesia. Belanda tumbuh sebagai negara yang mempunyai kekuatan ekonomi penting karena peran para pengusaha menengah yang mempunyai mentalitas kewirausahaan (yang boleh jadi, karena pengaruh kekristenan) tangguh dalam konteks kekristenan Eropa. Program saling berbagi pengetahuan dan pengalaman seperti ini akan mendorong gereja-gereja di Indonesia mengembangkan teologi kewirausahaan khas, yang mendukung bagi lahirnya (sistem) ekonomi yang berkeadailan di Indonesia.

 

  1. Pendidikan Teologi kritis-analitis-kontekstual, dikaitkan dengan persoalan yang sudah diuraikan sebelumnya, kita melihat bahwa gereja-gereja di Indonesia mengalami problem eklesiologi. Gereja seperti apakah yang harus diimajinasikan dan dipraktikan di Indonesia supaya mampu membawa berita Injil sebagai jalan keselamatan praktis? Artinya, sebagai Gerakan ekumenis-emansipatoris-empowerment, kemitraan ini perlu mengajak dan melibatkan sekolah teologi untuk mengembangkan model pendidikan teologi yang kritis-analitis-kontekstual.

 

Pendekatan yang bercorak sosiologis-politis dan meminjam pendekatan, seperti, post-kolonial merupakan jalan untuk melahirkan teologi yang mampu memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi gereja. Pendekatan baru ini memampukan gereja untuk melihat ke dalam dirinya sendiri dan mengaitkannya dengan relasi-kuasa terhadap berbagai lembaga yang ada di sekitarnya, sehingga mampu membuat keputusan politik berdasarkan analisis teologis yang tepat. Kedua gereja, di Belanda dan di Indonesia bisa berbagi pengetahuan tentang pergumulan teologis yang dihadapinya berkaitan dengan situasi politik dan sosial-ekonomi, sehingga bisa melahirkan teologi kritis-analitis-kontekstual.

 

  1. Sekularisasi dan Pengabaian Sosial, sekularisasi sebaiknya dipahami sebagai upaya yang mengabaikan atau menganggap “Tuhan tidak ada” dalam kehidupan. Pemaknaan seperti ini bisa berdampak juga pada pengabaian terhadap keberadaan pihak lain –hidup terlalu berpusat pada diri sendiri dan kenikmatan sendiri. Lalu, kepekaan terhadap tanggung jawab etis atas kehidupan bersama dengan orang lain terabaikan; dan yang hendak diperjuangkan adalah apa yang menjadi kepentingan sendiri –dan kalau perlu menghalalkan segala cara.

 

Gereja di Indonesia dan Belanda, kemungkinan besar, menghadapi warga gereja dan masyarakat seperti itu. Orang hanya memperjuangkan kepentingannya dan menganggap nilai-nilai persekutuan (atau hidup bersama) tidak penting –dengan semboyan: “selama tidak merugikan orang lain”. Lalu, mereka terus berusaha mewujudkan kepentingannya dengan mengabaikan norma sosial umum, dan menekankan “keberhasilan material” sebagai satu-satunya ukuran hidup yang bermakna. Ini merupakan gejala sekularisasi yang rumit dan perlu perhatian bersama antara gereja di Indonesia –di tengah arus sistem politik liberal yang menghalalkan segala cara, dan untuk mengatasinya, bantuan dari Gereja di Belanda sangat signifikan. 

 

Strategi Mengatasi Persoalan

Untuk menjawab persoalan di atas, gereja-gereja yang terlibat dalam kemitraan pelru mengembangkan strategi kerja, sebagai berikut:

  1. Kerja sama antara gereja-gereja di Indonesia, baik antar-gereja lokal yang berdekatan atau antar-sinode dalam payung PGI.

 

Model pertama ini akan memampukan gereja secara langsung saling berbagi sumber daya, pengetahuan dan pengalaman antara gereja-gereja di Indonesia, maupun gereja anggota PGI dengan gereja Belanda (dalam koordinasi dengan PGI). Model ini akan memberikan manfaat langsung karena persoalan yang khas masing-masing gereja bisa memperoleh dukungan dari gereja yang memiliki sumber daya.

 

  1. Peningkatan kapasitas antar-gereja, melalui program kolaboratif dan edukatif, yang ditopang oleh payung kemitraan antara PKN-PGI.

 

Model kedua memerlukan sebuah perencanaan yang sistematik dan berkelanjutan (dalam siklus kemitraan 4/2 tahunan) antara PGI (sebagai wadah kebersamaan gereja-gereja yang memiliki akar historis dengan Belanda) dengan PKN. Model ini harus bersifat timbal balik. Kedua gereja perlu terlibat aktif dan membagi sumber daya secara terbuka. Namun, untuk pertukaran sumber daya, kedua belah pihak mesti memilah mana yang bisa dijadikan program kolaboratif dan mana yang merupakan pemberian dukungan yang saling menguntungkan. Pada titik inilah kemitraan sejati itu akan menjadi nyata.

 

Mengacu pada laporan evaluasi eksternal, dalam rangka peningkatan kapasitas dua pihak, gereja Belanda (PKN) dan gereja-gereja di Indonesia (PGI), diperlukan semacam perencanaan bersama, dan tim kerja yang disepakati bersama: secretariat bersama? Steering committee? Atau project officer yang ditunjuk bersama?

 

  1. Advokasi dan perubahan kebijakan, baik dalam skala lokal, nasional maupun global

 

Berkaitan dengan model kedua, strategi ketiga ini perlu dimasukan dalam perencanaan program. Lalu, pelaksanaannya akan dikerjakan menurut model yang dipilih atau ditetapkan seperti model kedua di atas. Gereja-gereja perlu memikirkan gerakan advokasi sebagai implementasi berteologi secara praktis tanpa membuat jebakan gereja sebagai partai politik atau LSM. Ini akan mendorong gereja memikirkan eklesiologi apa yang cocok bagi keterlibatan gereja dalam Gerakan advokasi dan perubahan kebijakan.

 

Sumber daya yang dimiliki

Semua gereja mempunyai sumber daya yang tersedia, baik tenaga ahli, sarana pelatihan dan pendidikan, dan juga keuangan –walaupun untuk gereja Indonesia sulit diharapkan bisa memberikan kontribusi secara cash di depan. Namun, seringkali, kalau diberikan kesempatan, gereja-gereja di Indonesia mampu memberikan kontribusi –yang kalau dihitung secara cash—melampaui apa yang dipikirkan.[1]

Demikian juga, gereja di Belanda juga mempunyai sumber daya yang memadai –terutama dalam keuangan secara cash, dan juga pengalaman sebagai gereja yang hidup di negara yang mengalami perkembangan teknologi.

 

Catatan Penutup

Demikian rumusan yang merupakan hasil dari Konferensi Kemitraan Emansipatoris, yang dilaksanakan di Berastagi, 14-18 April 2023. Kiranya, hasil ini akan menjadi dasar bagi PGI dan PKN untuk meneruskan ke dalam program konkrit yang akan dijabarkan oleh tim atau steering committee atau sekretariat bersama yang akan dibentuk untuk menerapkan menjadi program praktis yang mengejawantahkan hasil kemitraan.

(Pdt. Imanuel Kemenangan Ginting, STh. Humas dan IT Moderamen GBKP)